Minggu, 06 Mei 2012

INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK TAHUN 2003

Republik Irak adalah sebuah negara di Timur Tengah atau Asia Barat Daya, yang meliputi sebagian terbesar daerah Mesopotamia serta ujung barat laut dariPegunungan Zagros dan bagian timur dari Gurun Suriah yang mempunyai luas sekitar 438.052 km2. Negara ini berbatasan dengan Kuwait dan Arab Saudi di selatan,Yordania dan Suriah di barat, Turki di utara, dan Iran di timur. Irak mempunyai bagian yang sangat sempit dari garis pantai di Umm Qasr di Teluk Persia.
Irak merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji lebih mendalam, karena merupakan salah satu negara Timur Tengah yang sering menghadapi peperangan. Sejak pertama muncul peradaban kuno di Asia Barat daya, Irak selalu dikuasi oleh kekuasaan asing. Irak sebagai negara yang menjadi pusat peradaban dunia Islam pada dinasti Abbasiyah setidaknya pernah diinvasi oleh pasukan Persia, Yunani, Romawi dan Mongol. Pada awal perjalanan Irak pada abad ke-21 ini, Irak kembali diserbu oleh Amerika Serikat (AS). Berikut akan diuraikan mengenai peristiwa Serangan Amerika Serikat ke Irak yang berlangsung pada tahun 2003.
A. Latar Belakang Invasi AS ke Irak tahun 2003
Konflik senjata antara AS (Amerika Serikat) dengan Irak pada tahun 2003, ada tiga tujuan yaitu AS ingin menghancurkan senjata pemusnah massal, menyingkirkan ancaman teroris internasional dan membebaskan rakyat Irak dari penindasan rezim Saddam Hussein dengan cara memulihkan demokrasi di Irak.[1]
Dari tiga alasan tentang masalah Irak yang harus diselesaikan dengan cara AS (dihancurkan) ternyata dipenuhi kebohongan, yaitu : Agresi AS ke Irak untuk memusnahkan senjata pemusnah massal adalah upaya AS untuk membohongi masyarakat internasional. Dikatakan oleh Presiden George W. Bush bahwa Irak mempunyai senjata pemusnah atau destruksi massal (Weapons of Mass Destruction) yang berupa:
(1) senjata kimia seperti mostar yang dapat menyebabkan kulit melepuh, tabun dansarin yang dapat menyerang syaraf.
(2) Senjata biologi seperti botulinum yang dapat meracuni dan mencekik orang,bacillus antraxis yang dapat menyebabkan penyakit antrax, senjata nuklir dan rudal scud yang mempunyai jangkauan 900 kilometer untuk meluncurkan senjata-senjata tersebut.[2]
Untuk meyakinkan rakyat dan kongres AS, Presiden Bush di depan Kongres ketika menyampaikan laporan tahunan menyatakan bahwa Saddam Hussein telah mengusahakan untuk membeli lima ratus ton uranium – oksida dari Nigeria. Dengan demikian kepemilikan senjata-senjata tersebut dapat membahayakan rakyat Irak dan negara-negara tetangganya.
Serangan AS ke Irak dengan alasan pemusnahan senjata pemusnah massal tidak masuk akal, karena bila AS memang ingin menghancurkan senjata itu, Presiden Bush tidak mengerahkan semua kekuatan militernya. AS (dan sekutunya Inggris) hanya mengerahkan 230.000 dan 45.000 personilnya ke Irak. Dari jumlah itu, hanya 90.000 prajurit AS dan 45.000 prajurit Inggris yang merupakan pasukan tempur.[3]
Sebelum terjadi serangan ke Irak, Tim Inspeksi PBB yang diketuai Hans Blix menyatakan sama sekali tidak menemukan bukti Irak memiliki senjata pemusnah masal dan ternyata jangkauan senjata rudal Irak tidak seperti yang dikatakan AS yaitu 900 kilometer, tetapi hanya 10 sampai 15 kilometer. Atas dasar temuan itu Saddam Hussein menyatakan, “Mampukah rudal ini menembus Israel? Mampukah mencapai AS?”. Kebohongan AS makin tampak ketika Menteri Luar Negeri AS, Collin Powell, memberikan laporan kepada Dewan Keamanan PBB tentang upaya Irak mendapatkan uranium-oksida dari Nigeria. Menurut duta besar Nigeria untuk PBB, Presiden Nigeria yang disebut-sebut dalam dokumen intelijen Presiden Bush, yang dikatakan bekerjasama dengan Saddam Hussein dalam pengadaan uranium-oksida ternyata telah lama meninggal dunia. Beberapa minggu setelah Baghdad jatuh, pasukan AS belum berhasil menemukan senjata pemusnah massal Irak.[4]
Menggempur Irak atas nama memerangi terorisme yang didengungkan AS tidak dapat diterima begitu saja. Tudingan Washington bahwa Bahgdad memiliki hubungan dengan al-Qaidah, organisasi yang sangat dibenci dan sekaligus ditakuti AS (yang dituduh telah meledakkan gedung WTC pada 11 September 2001) sangat tidak masuk akal. Di satu sisi, al-Qaidah adalah organisasi yang ingin menggulingkan pemerintahan berpaham liberal maupun sekuler, sementara Partai Baath pimpinan Saddam Hussein tidak memiliki paham fundamentalisme seperti halnya al-Qaidah. Bahkan, rezim Saddam Hussein sendiri termasuk yang harus dihancurkan oleh Al-Qaidah karena berseberangan paham (pemerintahan Saddam Hussein berpaham sekuler, sedangkan al-Qaidah berpaham fundamentalis yang memegang teguh ajaran Islam). Oleh karena itu, selain pemerintah AS tidak punya bukti kuat tentang hubungan al-Qaidah dan Irak, Usamah bin Laden  (pemimpin Al-Qaidah) dan Saddam Hussein tidak mungkin bekerjasama. Apalagi, ketika Irak menduduki Kuwait pada 2 Agustus 1990, Usamah bin Laden justru menawarkan diri kepada Raja Fahad (Arab Saudi) untuk mengirimkan veteran Arab-Afghan untuk membantu Kuwait mengusir pasukan Saddam.[5]
Klaim Washington bahwa penggulingan Saddam Hussein dimaksudkan untuk menyelamatkan rakyat Irak dari pemerintah yang diktaktor dan otoriter serta agar rakyat dapat mendirikan pemerintahan yang benar-benar demokratis juga cacat dari sisi hukum. Baik PBB maupun negara di dunia tidak ada yang memberi legitimasi AS untuk ikut campur urusan dalam negara lain. Dalam kasus Irak, apapun sistem yang telah dan akan diterapkan di negara itu, demokrasi atau monarki, maka hasil itu semuanya menjadi hak rakyat Irak untuk menentukannya.
Di Irak, meskipun AS mengatakan Saddam Hussein sebagai diktator, tetapi rakyat Irak (kecuali suku Kurdi) mengelu-elukan Saddam Hussein sebagai sosok yang berani mempertahankan kedaulatan Irak dari serbuan AS dan sekutunya.[6] Saat menghadapi invasi AS, Saddam Hussein telah menyerukan kepada rakyatnya agar tetap siaga menghadapi agresi militer AS. Seruan itu disambut rakyat yang menyatakan akan membela pemimpinnya, yaitu Saddam Hussein dan membela tanah Irak.[7]
Dalam pengakuannya, AS selalu mengatakan bahwa serangannya ke Irak untuk menegakkan demokrasi, tetapi setelah rezim Saddam Hussein jatuh, AS akan kesulitan membangun pemerintahan baru yang demokratis. Hal ini disebabkan: (1) Prinsip AS sendiri tidak demokratis, melainkan berdasarkan pada kepentingan politiknya, yaitu mencegah munculnya penguasa yang menentang kekuasaan, atau berafiliasi dengan negara yang menjadi musuh AS; (2) Pemimpin yang dipilih AS untuk memimpin Irak tidak mempunyai basis pendukung yang kuat di kalangan rakyat.[8]
Menurut Wirawan Sukarwo terdapat dua alasan utama yang melatarbelakangi serangan AS ke Irak. Pertama, keinginan AS untuk menghentikan proyek pengembangan senjata pemusnah massal di Irak. Kedua, menjatuhkan rezim Saddam Hussein yang dianggap memiliki hubungan dengan Al-Qaeda yang mengancam stabilitas regional. Dari kedua alasan utama tersebut, Pemerintah AS menjabarkannya dalam beberapa misi mereka untuk Irak. Bahkan pemerintah AS menganggap sebagai tugas mulia. Beberapa misi invasi yang dianggap sebagai tugas mulia AS, antara lain sebagai berikut : (1) Mengakhiri rezim Saddam Hussein; (2) Mengidentifikasi, mengisolasi, dan mengeliminasi senjata pemusnah massal; (3) Mencari, menangkap, dan membawa keluar teroris dari Negara itu; (4) Mengumpulkan data intelijen terkait yang bisa digunakan dalam jaringan pemberantasan terorisme internasional; (5) Mengumpulkan data intelijen yang terkait dengan jaringan global di pasar gelap perdagangan senjata pemusnah massal; (6) Mengakhiri sanksi dan secepat mungkin mengirim bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan rakyat Irak; (7) Mengamankan sumber-sumber ladang minyak yang menjadi milik rakyat Irak; (8) AS akan menjadi penolong rakyat Irak menciptakan masa transisi untuk membangun sebuah pemerintahan yang representatif.[9]
Namun semua alasan yang dikeluarkan oleh AS menjadi sebuah kebohongan yang diketahui secara luas oleh dunia internasioanl. Irak terbukti tidak mengembangkan senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan dan Saddam Hussein tidak memiliki hubungan dengan Osama bin Laden beserta jaringan al-Qaedanya.
Dari semua analisis terhadap motif invasi AS yang sesungguhnya, terdapat persepsi umum bahwa ekonomilah yang menjadi faktor dominan. Beberapa perhitungan yang terkait dengan motif ekonomi dan bisnis dari serangan AS atas Irak antara lain sebagai berikut : (1) Kekayaan minyak bumi yang dimiliki oleh Irak merupakan cadangan minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi. Berdasarkan data yang dikeluarkan olehCentre for Global Energy Studies (CGES) London, Irak diperkirakan memiliki 112 miliar barrel cadangan minyak. Berdasarkan data tersebut, Irak merupakan pemilik 11 persen cadangan minyak dunia. Selain itu, menurut US Energy Information Administration, Irak memiliki 73 ladang minyak mentah dan hanya 15 ladang yang telah dikembangkan; (2) ingin menciptakan tatanan dunia baru yang “lebih aman” dengan tujuan kebebasan ekonomi dan politik. Hal ini merupakan strategi geopolitik AS di kawasan Timur Tengah. Bagi AS, Irak merupakan ancaman potensial bagi kepentingannya dan sekutu terdekatnya Israel di kawasan Timur Tengah; (3) Proyek rekontruksi pasca perang yang akan menguntungkan AS. Kehancuran infrastruktur akibat perang akan melahirkan proyek-proyek rekontruksi dengan dana yang besar. Sebagai pemeran utama invasi, AS akan mengambil proyek-proyek tersebut untuk meraup keuntungan besar pascaperang.[10]
Terlepas dari latar belakang AS menginvasi Irak yang penuh dengan kebohongan, ada beberapa faktor yang menyebabkan para pengambil keputusan (policy makers) di dalam pemerintahan Presiden Bush memutuskan untuk menyerang Irak dan menumbangkan rezim Saddam Hussein, yaitu:
  1. a.      Menguasai Industri Minyak Dunia dan Menghancurkan OPEC
Agresi militer AS ke Irak sangat erat kaitannya dengan kepentingan minyak bagi AS. Irak merupakan negara yang mempunyai cadangan minyak sebesar 112 miliar barel atau 11% dari total cadangan minyak dunia. Para perancang kebijakan pemerintahan AS berpendapat bahwa menguasai minyak Irak sangat penting guna mengantisipasi menurunnya keberadaan minyak dunia sebanyak lima juta barel per hari pada dekade mendatang. Lebih daripada itu, Badan Energi Internasional memperkirakan bahwa kebutuhan dunia terhadap minyak akan meningkat sebesar 1,6% pada tahun 2030. Dengan kata lain, kebutuhan minyak dunia yang sekarang berjumlah antara 75-76 juta barel perhari akan meningkat menjadi 120 juta barel perhari pada tahun itu.[11]
Dengan menguasai minyak Irak, AS dapat dengan mudah mempermainkan harga minyak dunia, karena selama ini penentuan harga minyak masih dikuasai OPEC, bukan oleh satu negara tertentu. Jatuhnya Irak dan semakin kuatnya pengaruh AS di kawasan Teluk tidak saja akan mengamankan suplai minyak bagi AS dan sekutunya, tetapi juga mengantarkan AS sebagai negara yang dapat mengontrol kepentingan ekonomi (minyak) negara lain.
  1. b.      Menjaga Eksistensi dan Keamanan Negara Israel
AS merupakan benteng utama penjaga keselamatan negara Israel dari ancaman yang sering dihembuskan oleh Irak, karena itu AS berkepentingan untuk menghancurkan Irak dan pemerintahan Saddam Hussein. Dengan menghancurkan Irak dan menguasainya, maka Israel akan terbebas dari ancaman Irak. Dengan adanya perang AS-Irak, maka Irael akan menggunakan kesempatan itu untuk melakukan penindasan terhadap rakyat Palestina.[12]
M. J. Akbar, seorang kolumnis kaliber internasional asal India, dalam Abdul Halim Mahally (2003:353), menyatakan bahwa AS sesungguhnya tengah berupaya keras untuk mewujudkan Timur Tengah Baru. Setelah Irak berhasil dikuasai, maka AS hendak membentuk negara Palestina yang demokratis yang dapat bekerja sama dengan Israel, karena selama ini Irak merupakan pendukung gerakan perlawanan Palestina. Selain itu, AS juga ingin mewujudkan ambisi Israel yang ingin menguasai Timur Tengah. Bagi AS, mendukung Israel merupakan kepentingannya, karena itu AS secara terang-terangan menerapkan kebijakan standar-ganda di Timur Tengah. Di satu sisi, AS menjatuhkan sanksi-sanksi khusus kepada Irak, sementara di sisi lain mendukung Israel menindas Palestina.
  1. c.       Meneguhkan Pengaruh Politik
Dengan menghancurkan Irak, AS semakin terbuka peluangnya untuk menapakkan pengaruh politiknya di Timur Tengah. Selama ini, pengaruh politik AS di Timur Tengah belum dapat terwujud secara maksimal, dikarenakan pemerintahan Saddam Hussein tidak mau tunduk pada AS. Saddam Hussein secara terang-terangan mempunyai keberanian untuk menentang hegemoni AS dan menggalang dukungan dari negara-negara Teluk untuk menentang AS.[13]
Keruntuhan pemerintahan Saddam Hussein juga dimaksudkan AS untuk mengirimkan sinyal tegas dan peringatan kepada negara-negara di Timur Tengah, bahwa AS tidak akan segan-segan mengirimkan mesin-mesin perangnya kepada negara-negara yang melawannya.
B. Jalannya Perang AS-Irak tahun 2003
Isu yang dilancarkan AS berkaitan dengan masalah Irak adalah pengembangan dan kepemilikan senjata pemusnah massal berbahan nuklir, biologi dan kimia (nubika) serta rudal balistik yang dikatakan mampu menjangkau Israel. Atas dasar isu itu, AS berupaya dengan segala cara untuk dapat melucuti Irak. AS berhasil mempengaruhi Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi yang hasilnya mengirimkan Tim Inspeksi Senjata PBB yaitu UNSCOM (United Nations Special Commision) ke Irak.
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan lagi Resolusi 1441 mengenai perlucutan senjata destruksi atau pemusnah massal Irak dan pembentukan Tim Inspeksi yang diberi nama UNMOVIC (United Nations Monitoring, Verification, and Inspection Commision). Menurut resolusi itu, dalam waktu sebulan Irak harus menyerahkan laporan mengenai senjata pemusnah massal, sistem, dan program pengembangannya. Pada resolusi ini, hanya AS dan Inggris yang setuju jika Irak gagal memenuhi ketentuan resolusi itu, konsekuensinya berat bagi Irak yaitu berupa serangan militer AS. Jika ada sesuatu yang dianggap sebagai kesalahan Irak, baik disengaja atau tidak, dapat menimbulkan perang yang menghancurkan negara itu. Dengan begitu, AS berpotensi memicu provokasi bagi situasi panas berupa serangan militer ke Irak, bukan cuma melucuti senjata pemusnah massal yang dicurigai dimiliki Irak, tetapi tujuan akhirnya adalah mengganti pemerintahan Saddam Hussein.
Pada 14 Februari 2003, Han Blix (Ketua UNMOVIC) dan El-Baradei (Direktur Jenderal Badan Energi Atom Dunia) menyampaikan laporan bahwa di Irak tidak ditemukan senjata pemusnah massal. Kesimpulan itu dinyatakan setelah tim dari PBB tersebut menginspeksi seluruh gedung Irak, termasuk yang berada di bawah tanah. Pada 7 Maret 2003, Hans Blix dan El-Baradei kembali menyampaikan laporan kepada PBB, bahwa Irak telah menghancurkan rudalnya, termasuk Al-Samoud II yang merupakan satu-satunya senjata pertahanannya.
Irak telah memberi keleluasaan kepada Tim Inspeksi untuk memenuhi tuntutan PBB, namun AS (dan Inggris) tetap tidak berubah dari posisinya dan bahkan mengabaikan laporan Tim Inspeksi senjata PBB. Menteri Luar Negeri AS, Collin Powell, menegaskan belum cukup melihat keputusan politis Irak untuk meluncuti senjatanya. Powell bahkan menilai kesediaan Irak menghancurkan Al-Samoud II sebagai too-little, to-lateterutama dalam menggeser pandangan internasional. AS tetap yakin Irak mempunyai senjata Pemusnah Massal, sehingga AS merasa perlu bertindak untuk menyerang Irak tanpa izin dari PBB.
Pada awal 2003 tanpa menghiraukan laporan Tim Inspeksi Senjata PBB, AS mengerahkan tahap demi tahap kekuatan militernya di perbatasan Irak. Suadron udara dengan pesawat tempur F-15, F-16, AV-8 Harrier, A-10 Warthog dan pesawat pembom B-1, B-2, B-523, pesawat “Siluman” F-117, pesawat pemandu AWACS, pesawat pengintai U-2, serta beberapa kapal induk, dan pasukan marinis dan infanteri telah disiagakan untuk menunggu komando serangan.
Presiden AS, George W. Bush, mengeluarkan ultimatum kepada Irak, bahwa dalam jangka waktu 48 jam, presiden Irak Saddam Hussein dan anak-anaknya harus segera meninggalkan Irak. Ultimatum itu berakhir pada 20 Maret 2003 dan beberapa jam sebelum perang dimulai, AS menghimbau agar tentara Irak tidak melakukan perlawanan terhadap serangan tentara AS nanti dan mengajak tentara Irak untuk  membangkang kepada Saddam Hussein.[14]
Tembakan salvo dari kapal induk AS ke udara Irak tanggal 20 Maret merupakan awal dari perang AS dan Irak. Setelah tembakan Salvo pada hari itu, lima kapal induk AS, diantaranya adalah USS Abraham Lincoln, USS Kitty Hawk Dan USS Theodore saling berlomba-lomba menembakkan rudal-rudal penjelajah Tomahowk ke Irak. Perang antara AS dan Irak merupakan perang yang timpang dan tidak seimbang. Irak tidak mempunyai kekuatan laut, sedangkan kapal-kapal induk AS leluasa menembakkan rudal-rudal mereka ke Irak tanpa ada perlawanan dari pasukan Garda Republik. Dalam perang ini, kekuatan AS (dan sekutunya) amat mendominasi karena Irak juga tidak berdaya menghadapi serangan darat dan udara dari AS.
Presiden Irak Saddam Hussein mempunyai pasukan berjumlah sekitar 500 ribu. Rinciannya adalah, Pasukan Berani mati (40.000 orang). Garda Republik (80.000 orang), Angkatan Darat (295.000) dan Polisi Rahasia Irak (125.000 orang). Dalam menghadapi kekuatan militer AS (dan sekutunya), tentara Irak tidak bisa menandingi kekuatan AS. Ketika kapal-kapal Induk AS menembakkan rudal-rudal jelajah Tomahaw mereka ke berbagai tempat di Irak dan pesawat-pesawat perang AS menghujani Irak dengan berbagai macam bom, tentara Garda Republik dan pasukan komando Saddam Hussein tidak berdaya melawannya. Meskipun semangat rakyat Irak untuk mempertahankan negara Irak dari invasi pasukan asing sangatlah tinggi, tetapi secara militer, rakyat Irak tidak pernah mampu melawannya secara terbuka. Dari jumlah anggaran pertahanan, Irak tertinggal jauh dari AS, Irak hanya menghabiskan sekitar US 4 1,4 miliar untuk membiayai kekuatan militernya, sementara jumlah yang dihabiskan oleh AS untuk membiayai militernya sebesar US $ 400 miliar.
Dalam menghadapi serangan AS, Irak meminta kepada negara-negara Arab untuk menyelamatkan diri sambil memperkuat sikap menentang invasi militer AS ke Irak, karena invasi AS tersebut juga akan membahayakan seluruh wilayah Timur Tengah. Menteri Luar Negeri Irak yang berhasil meloloskan diri ke Suriah beberapa saat setelah serangan AS, Nadji Sabri, mengatakan, “Kami berharap, saudara-saudara kami bangsa Arab akan dapat menyelamatkan diri dan bersama-sama melawan Zionis-Amerika-Inggris, yang sebenarnya mempunyai target menguasai seluruh Arab. Mereka ingin membuat seluruh negara Arab menjadi negara lemah yang akan dikuasai oleh Sharon (PM. Arrel Sharon)”.
Perang antara AS dan Irak dimulai pada tanggal 20 Maret 2003 dan berakhir pada 9 April 2003 dengan didudukinya Baghdad, ibukota Irak, oleh pasukan AS dan sekutunya. Berikut merupakan kronologis perang: Tanggal 20 Maret, salah satu kesatuan yang berada di garis depan adalah Divisi Infanteri ke-3 AS. Dalam strategi militer, divisi ini akan menjadi salah satu ujung tombak serangan darat untuk menembus perbatasan Irak. Serangan ini didahului pasukan dari Divisi Lintas Udara ke-101 yang dengan kekuatan helikopter tempur dan angkutnya akan menerobos dan menguasai bebragai instalasi penting sebelum kedatangan pasukan Divisi Infanteri ke-3. secara keseluruhan ada sekitar 250.000 pasukan AS dan 45.000 pasukan Inggris yang didukung 1.000 pesawat tempur dan pembom serta helikopter tempur, yang siap menyerang Irak. Di laut, kapal-kapal induk AS siap melaksanakan operasi udara setiap saat. Sementara di pihak Irak, rakyat sipil dan militer Irak menunjukkan dukungan kepada Saddam Hussein dan menyatakan siap berkorban jiwa dan raga menghadapi invasi AS.
Tanggal 21 Maret. Dalam perang hari kedua ini satuan anti serangan udara Irak menembak jatuh sebuah jet pasukan sekutu (AS-Inggris) dan dua buah Helikopter AS, sementara Saddam Hussein dapat lolos dari hujan rudal AS meski salah satu rudal menghancurkan kediamannya. Perang hari kedua ini telah mulai menewaskan prajurit baik dari AS dan sekutunya maupun prajurit Irak. Satuan Marinir AS yang berupaya menguasai jalan raya utama menuju kota Basra di selatan Irak yang merupakan kota terbesar kedua di Irak dan penghasil minyak utama, mengalami hambatan berupa serangan mortir. Demikian juga dengan pasukan Inggris yang mendapat perlawanan sengit saat mereka bergerak menuju daerah umum Qasr, di selatan Basra. Beberapa jam sebelum perang dimulai, pasukan Inggris berhasil mengamankan semenanjung Al-Faw, untuk mencegah Irak membakar sumur-sumur minyaknya. Sementara itu, satuan Brigade Lapis Baja ke-7 Inggris Desert Rats telah masuk ke Irak dan memberikan perlindungan di bagian sayap pasukan AS-Inggris yang bergerak maju. Satuan militer AS dari Divisi Infanteri AD ke-3 juga telah menerobos ke Irak dan berhasil menghancurkan tiga tank Irak.
Tanggal 22 Maret, pasukan AS dan sekutunya semakin gencar menembakkan rudal dan menjatuhkan bom ke Irak. Pada hari ini beberapa lusin pesawat tempur F-14 dan F/A-19 Hornet yang penuh bermuatan bom telah keluar dari kapal induk Kitty Hawk. Pasukan udara AS dan Inggris melakukan 1.000 penerbangan penyerbuan dan menembakkan 1.000 rudal jelajah di Irak. Sepanjang periode 24 jam 22 Maret waktu Irak, pasukan AS dan Inggris menggempur 1.500. Sasaran dengan bom-bom berpemandu dan rudal-rudal jelajah. Pesawat siluman B-2 melancarkan serangan-serangan dari pangkalan utama di Pangkalan AU Whiteman, terbang selama 38 jam untuk menjatuhkan 1.000 kg bom berpedoman satelit pada sejumlah sasaran di Irak. Pesawat yang ambil bagian pada serangan hari itu adalah pesawat pembom jarak jauh B-IB Lancer, pesawat siluman F-117, pesawat tempur F-15, F-16, F/A-18 dan A-10Thunderbolt. Sedangkan bom yang dijatuhkan ke Irak sebagian besar berpemandu satelit dengan hulu ledak yang dapat menembus tanah, juga bom berpemandu laser 6BU-27 bunker busting, dan Daisy Cutter seberat 10.500 kg, dan dua bom sebesar 7.5000 kg. Serangan AS tersebut berhasil menghancurkan 2 Istana Saddam Hussein dan kamp Istana Tua Saddam Hussein yang merupakan pusat kantor negara Irak, kabinet dan Tentara Republik. Dari pihak Irak, mereka mengaku telah menghancurkan lima tank musuh dan membunuh beberapa pasukan AS.
Tanggal 23 Maret, pergerakan pasukan AS dan sekutunya sudah hampir mencapai Baghdad, meski di sejumlah tempat berlangsung perlawanan sengit dari satuan-satuan militer Irak. Brigade ke-2 Divisi Infanteri ke-3 AS kemarin berhasil menguasai wilayah seluas 370 km dalam waktu 40 jam dan mencapai posisi yang jaraknya kurang lebih 160 km dari Baghdad. Di kota Umm Qasr, pasukan sekutu juga terus berupaya membersihkan wilayah itu dari pasukan Irak. Terjadi pertempuran dari jalan ke jalan dan pasukan Sekutu menghadapi perlawanan ala gerilya dari pasukan Irak yang sebagian diantaranya adalah anggota Fadayeen, yaitu organisasi paramiliter partai Baath. Selama empat hari pertempuran itu telah menewaskan sekitar 77 warga sipil dan melukai sedikitnya 503 warga sipil.
Tanggal 24 Maret, di tengah terjadinya berbagai pertempuran sengit dan pemboman bertubi-tubi atas Baghdad, Presiden Irak Saddam Hussein muncul di layar televisi. Saddam Hussein berpidato untuk memberi semangat pada rakyat dan pasukannya. Pasukan AS sendiri mengalami perlawanan sengit di Nasiriyah, di Irak Selatan. Perlawanan itu menimbulkan korban yang besar di pihak pasukan AS. Setidaknya sembilan marinis terbunuh dan belasan lainnya terluka akibat diterjang senjata pasukan Irak. Dalam kasus ini, pasukan AS tewas karena terkecoh pasukan Irak, kesatuan Irak ini memberikan isyarat hendak menyerah tetapi ketika marinir AS tersebut mendekat, pasukan Irak melancarkan serangan. Korban juga dialami pasukan Inggris, dua personil Inggris dinyatakan hilang setelah konvoinya di serang pasukan Irak.
Tanggal 25 Maret, salah satu hal yang paling dikhawatirkan pasukan AS dan koalisinya saat ini adalah taktik perang gerilya, karena pasukan Irak mulai melaksanakan taktik perang gerilya. Para pelaku gerilya ini diyakini aalah pasukan Fedayeen, pasukan paramiliter Partai Baath, yang bekerja sama dengan satuan keamanan dan intelijen khusus. Dengan menyamar sebagai warga sipil, pasukan ini menyusup di wilayah pemukiman penduduk, wilayah seperti itu yang beberapa hari semenjak mulai perang menjadi lokasi pertempuran sengit. Pasukan gerilyawan mengambil sasaran konvoi-konvoi logistik pasukan koalisi, karena konvoi logistik biasanya berada di belakang pasukan tempur dan biasanya posisinya paling lemah. Akibat dari gerilya ini, 12 prajurit AS dinyatakan hilang.
Tanggal 26 Maret. Dalam perang yang sudah berlangsung selama beberapa hari ini, pasukan AS semakin sering menembakkan rudal ke pemukiman-pemukiman sipil, sehingga semakin banyak warga sipil yang menjadi korban. Sementara dari pihak pasukan Inggris, 2 tank Inggris hancur karena terkena tembakan kawan sendiri yang salah sasaran. Dari pihak Irak, sebuah kon tingen besar pasukan Irak dari kesatuan elite Pengawan Republik menuju ke wilayah selatan meninggalkan Baghdad. Kontingen yang terdiri dari sekitar 1.000 kendaraan itu menuju wilayah An-Nasiriyah untuk menghadapi pasukan marinir AS. An-Nasiriyah menjadi salah satu lokasi pertempuran paling dahsyat dalam tiga hari terakhir. Sekitar 3.000 personel Pengawal Republik terlihat di salah satu kota yang dilintasi jalan raya nomor 7, sementara 2.000 lainnya terlihat di kota lain. Gerakan ini nampaknya menunjukkan pasukan Pengawal Republik masih dapat melakukan persiapan penyerangan, padahal sejak beberapa hari terakhir ini berbagai posisi pasukan tersebut mendapat serangan udara dan darat yang hebat dari pasukan koalisi. Sementara itu, pasukan AS yang sedang menuju Baghdad juga mengalami perlawanan sengit. Unit-unit dari Resimen Kavaleri ke-7 AS terlibat baku tembak dahsyat dengan pasukan Irak di dekat kota Najaf, Irak Tengah. Pada pertempuran ini, sekitar 500 pasukan miliki Irak tewas, sedangkan pihak AS kehilangan dua tanknya, tetapi tidak mengalami korban jiwa.
Tanggal 27 Maret, Sidang Dewan Keamanan PBB mendesak AS dan negara sekutunya untuk menarik semua pasukannya dari Irak tanpa syarat apapun. Negara-negara anggota Liga Arab dan Gerakan Non Blok (GNB) menyatakan serangan militer tersebut tidak sah dan melanggar aturan PBB. GNB dan Liga Arab adalah dua kelompok yang mengusulkan digelarnya Sidang Khusus yang bersifat terbuka tersebut. Sementara itu, negara-negara Uni Eropa juga menyiratkan setujunya kawasan itu terhadap serangan militer AS ke Irak, karena Uni Eropa menjunjung tinggi integritas dan kedaulatan Irak dan menghormati hak-hak yang dimiliki rakyat Irak. Para penentang perang juga berasal dari rakyat AS, di berbagai negara bagian AS, terjadi demonstrasi untuk menentang perang.
Tanggal 28 Maret, Pasukan AS dan Inggris yang mengepung kota Basra di Irak selatan, menghadapi perlawanan sengit, khususnya dari kelompok miliki Fedayeen. Seorang juru bicara militer Inggris, Chris Vernon, mengatakan “bahwa meskipun pasukan koalisi tidak banyak mengalami kesulitan dalam menghadapi pasukan reguler Irak, namun saat menghadapi pasukan milisi, ternyata pasukan milisi mempunyai kekuatan melebihi perkiraan semula.”
Perlawanan sengit pasukan elite Pengawal Republik dan pasukan milisi yang menghambat gerak maju pasukan koalisi juga menimbulkan permasalahan tersendiri bagi satuan pendukung logistik. Keberhasilan Irak menghalau serangan darat AS di wilayah selatan dan kemungkinan bisa memotong jalur bantuan logistik yang menuju Baghdad, dikhawatirkan akan membuat AS putus asa, karena rasa putus asa itu akan membuat agresor melakukan serangan yang membabi buta yang dapat membahayakan penduduk sipil. Sementara itu upaya AS dan sekutunya untuk menggempur dan melumpuhkan berbagai jaringan vital di Baghdad terus dilakukan. Amerika Serikat untuk pertama kali mengerahkan dua bom kelas berat yang masing-masing berbobot 2.115 kilogram untuk menghancurkan sebuah menara telekomunikasi di dekat sungai Tigris di pusat kota Baghdad. Pemboman itu dimaksudkan untuk mengacaukan komunikasi antara kepemimpinan Irak dengan kesatuan-kesatuan militernya.
Tanggal 29 Maret, bom bunuh diri rakyat Irak mulai memakan korban tentara AS. Lima tentara AS tewas ketika sebuah taksi meledakkan bom di salahs atu pos pemeriksaan di kota Najaf, Irak Utara. Dengan tewasnya lima personel militer AS itu, maka jumlah personel militer AS yang tewas sejak serangan darat AS di Irak, adalah 34 orang dan 15 orang dinyatakan hilang. Sebanyak 104 personel militer AS cidera dan 7 personel dinyatakan sebagai tawanan perang oleh pasukan Irak. Sementara itu, para sukarelawan terutama pemuda dari negara-negara Arab telah memasuki Irak dan dikumpulkan di sebuah pusat rekruitmen yang berada di sebuah hotel. Sampai tanggal 29 Maret, pasukan Irak mengaku telah menembak jatuh enam pesawat tempur, empat helikopter tempur, empat pesawat tanpa awak, 143 rudal jelajah, 35 tank tempur, 5 tank pengangkut pasukan dan 35 kendaraan lapis baja pasukan AS. Pesawat pembom B-2 AS kembali menjatuhkan dua bom peledak bunker seberat 2.086 kg, ke sebuah jalur utama jaringan telekomunikasi Irak di pusat kota Baghdad untuk melemahkan kemampuan rezim Saddam Hussein dalam memimpin dan mengendalikan aksi pasukan militer Irak.
Tanggal 30 Maret, Pasukan Jihad dari beberapa negara sudah memasuki Irak. Dari Mesir, sekitar 631 orang, dari Lebanon sekitar 250 relawan dan juga dari Jihad Islam Palestina. Meskipun pasukan agresor telah mengganti strategi beberapa kali sejak serangan dimulai, tetapi pasukan Irak belum mengubah strategi dalam perang padang pasir karena merasa lebih berpengalaman. Dalam perang darat, yang diinginkan pasukan Irak adalah bisa menarik pasukan agresor ke dalam kota secepatnya agar terjadi perang darat sengit, yang saat itu teknologi senjata tidak bisa diandalkan lagi. Hingga hari ke-11 agresi, pasukan AS masih belum mampu mengamankan jalur logistik menuju Baghdad meskipun memiliki keunggulan senjata terutama di udara, karena jalur tersebut masih rentan serangan mendadak pasukan paramiliter dan sukarelawan Irak. Pada hari ini pasukan AS mengerahkan pesawat pembom jarak jauhnya yaitu B-IB Lancer, B-2, serta B-52 untuk menghancurkan kompleks gedung Kementrian Penerangan. Seorang tentara AS tewas dalam bentrokan dengan pasukan bersenjata Irak yang menggunakan granat berpeluncur roket.
Tanggal 1 April. Untuk pertama kali sejak serangan AS dimulai, presiden Saddam Hussein tidak berpidato secara langsung di televisi, tetapi diwakilkan oleh Menteri Penerangan Mohammaed Said al-Sahaf, yang menyatakan: “Jihad menjadi kewajiban untuk menghadapi agresor ini. Ulama muslim, yang memiliki beragam penafsiran, tidak sebersatu seperti saat ini dalam menghadapi sebuah masalah, dengan mempertimbangkan agresi terhadap benteng kepercayaan sebagai agresi terhadap Islam, kesejahteraan, kehormatan dan hidup kita. Perangi para agresor itu, seperti yang dilakukan saudara kita di Umm Qasr, Basra, Niniveh, Nassiriyah dan Anbar. Jangan biarkan mereka bernapas sampai mereka mundur dari tanah air muslim.” Ketidakmunculan Saddam Hussein untuk menyampaikan pidatonya itu menimbulkan pertanyaan di kalangan negara-negara Barat, karena tidak munculnya Saddam Hussein itu telah menimbulkan dugaan bahwa Saddam Hussein telah meninggal.
Tanggal 2 April. Rudal-rudal pertahanan udara Irak berhasil menjatuhkan dua pesawat AS. Sebuah helikopter militer UH-60 Blackhawk dan sebuah pesawat tempur AL AS F/A-18C Hornet jatuh tertembak di sekitar wilayah Karbala, 80 km selatan kota Baghdad. Ini merupakan kali pertama sebuah jet tempur pasukan AS tertembak dalam perang Irak ini. Dalam insiden ini, tujuh militer AS yang berada di dalam helikopter tersebut tewas, sementara empat lainnya yang telruka berhasil dievakuasi dan diselamatkan. Wilayah Karbala merupakan medan pertempuran sengit yang terjadi pada dini hari tanggal 2 April ini. Saat pasukan AS bergerak menuju Baghdad dan diserang pasukan Irak, tetapi pasukan AS berhasil membuat pasukan Irak kocar-kacir. Dalam perkembangan lain, pasukan Marinir dan Infanteri AS berhasil menembus pertahanan pasukan Irak di selatan Baghdad. Pasukan AS juga berhasil memasuki dan memeriksa salah satu istana Saddam Hussein yang berada di dekat Bandar Udara Internasional Saddam Hussein, 19 km di sebelah barat daya kota Baghdad. Pasukan AS pada saat ini berada sekitar 30 km dari Bagdad. Sementara pasukan Marinir menyeberangi sugnai Tigris menuju tenggara Baghdad, pasukan Marinir itu menggempur kubu-kubu pertahanan pasukan Garda Republik. Pusat komando operasi AS di Qatar mengatakan kesatuan Garda Republik dari Divisi Baghdad, Madinah dan Nebuschadnezar menjadi target serangan pasukan AS dari arah selatan Baghdad, sedangkan Divisi Adnan diserang dari udara.
Tanggal 3 April, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menyerukan kepada semua pihak yang terlibat dalam perang di Irak agar berupaya lebih keras untuk mencegah jatuhnya korban warga sipil. Seruan itu disampaikan menanggapi kenyataan bahwa banyak warga sipil yang menjadi korban tewas atau luka dalam bentrokan senjata yang terjadi selama dua pekan peperangan berlangsung. Menanggapi seruan ICRC itu, Kolonel Ron Johnson, seorang Komandan Marinir AS di Irak mempersalahkan taktik yang dilakukan oleh militer Irak dan kaum militan yang mengakibatkan besarnya jumlah korban yang jatuh dalam pertempuran. Menurut Johnson, kelompok milisi loyalis Saddam Hussein Fedayeen dan pasukan militer Irak telah mengabaikan hukum perang. Diakuinya sejumlah gedung sekolah terpaksa diserang karena pasukan Irak berlindung di dalamnya. Johnson juga menuduh pihak Irak menggunakan rumah sakit dan masjid untuk perlindungan dan pertahanan militer. Sementara itu statistik perang hingga hari ke-14 adalah :
  • Korban : Pasukan AS, 51 tewas, 7 tertangkap, 16 hilang (versi Departemen Pertahanan AS). Pasukan Inggris, 27 tewas. Di pihak Irak, tak ada laporan resmi tentang korban perang di kalangan militer. Korban di kalangan sipil menurut pemerintah Irak adalah 500 orang tewas dan sekitar 4.000 luka-luka.
  • Bom yang dijatuhkan di Irak : Hinggga 3 April, terhitung lebih dari 700 rudal jelajah Tomahawk telah ditembakkan ke Irak dan lebih dari 9.000 bom tembak tepat telah dijatuhkan.
  • Tawanan perang : 4.500 orang pasukan Irak telah ditawan oleh pasukan AS (versi Komando Wilayah Tengah AS).
  • Wartawan yang menjadi korban diantaranya: empat tewas (seorang wartawan Australia tewas akibat bom mobil, seorang reporter TV Inggris tewas tertembak dalam pertempuran, seorang juru kamera Inggris tewas akibat menginjak ranjau darat, seorang wartawan asal Inggris tewas akibat kecelakaan), dan dua lainnya hilang.
Tanggal 4 April. Pasukan AS telah berhasil menguasai Bandara Internasional Saddam Hussein dan menyatakan tank-tank AS menjebol sebuah tembok pertahanan di sekitar bandara. Pasukan AS pun melakukan penyisiran untuk mencari personel Irak yang mungkin masih bersembunyi dan jalur terdekat dari bandara ke Baghdad langsung ditutup dan dijaga ketat. Dengan dikuasainya Bandara Internasional ini oleh pasukan AS, maka kemungkinan para pemimpin utama Irak melarikan diri keluar negeri dapat dicegah. Akibat serangan pasukan AS di wilayah sekitar Bandara Internasional Saddam Hussein, kota Baghdad pada hari itu aliran listriknya terputus, demikian juga dengan saluran air yang tersendat-sendat. Meskipun begitu aktivitas perkotaan tidak begitu terpengaruh, jalan-jalan raya masih tetap sibuk dengan lalu lintas, toko-toko keperluan umum tetap buka, sementara antrean yang agak panjang terlihat di berbagai stasiun pengisian bahan bakar.
Tanggal 5 April, Presiden Saddam Hussein berpidato mendesak penduduk Baghdad untuk menyerang dengan sekuat tenaga pasukan AS yang sudah mendekati ibukota Irak tersebut. Pidato itu disampaikan setelah pasukan AS berhasil menguasai Bandara Internasional Saddam Hussein. Dalam pidato yang disiarkan oleh televisi Irak itu nampak Saddam Hussein sedang dielu-elukan pendukungnya di sebuah jalan. Di negara AS, Gedung Putih menyatakan pihaknya akan menganggap misi militer di Irak sukses, walaupun tidak berhasil menemukan Presiden Irak Saddam Hussein, yang kemunculannya di televisi Irak menunjukkan Saddam Hussein masih bertahan dan hidup dari segala serangan bom AS sejak dimulainya perang pada 20 Maret lalu. Di sisi lain, Pemerintahan Bush sedang membahas penguasa transisi di wilayah Irak yang berada di bawah kekuasaan AS, sedangkan pemerintahan Irak di bawah Saddam Hussein tidak akan mempunyai hubungan sama sekali dengan pemerintahan transisi itu. Sejumlah besar pejabat AS mulai dari tingkat menengah hingga tingkat atas saat ini berada di Kuwait dan siap untuk menuju ke Irak dan membentuk pemerintahan transisi di bawah pimpinan Jenderal (Purn) Jay Garner.
Tanggal 6 April. Pasukan Garda Republik pasukan Irak mengaku telah menghancurkan 16 tank AS dan membunuh 50 pasukan musuh dalam pertempuran yang terjadi di sekitar Bandara Internasional Saddam Hussein. Selain itu, pasukan Irak berhasil menembak 2 helikopter Apache di pinggiran selatan Baghdad dan menghancurkan beberapa tank dalam pertempuran di Irak bagian tengah dan selatan. Di pihak AS, insiden salah tembak kembali terjadi. Sebuah pesawat tempur AU AS membom sebuah konvoi yang terdiri dari para personel pasukan khusus AS. Di Baghdad, pasukan Irak menyerang satu konvoi AS di sebuah jalan di barat laut Baghdad dengan menggunakan granat bepeluncur roket dan bom-bom mortir, dan berhasil menewaskan satu orang pasukan AS. Satu konveoi Tank AS dan kendaraan lapis baja pada hari itu menyeberangi sungai Eufrat di selatan Baghdad untuk memperkuat posisi-posisi di sekitar kota itu. Untuk memperkuat penjagaan atas Bandara Internasional Saddam Hussein, pasukan AS menempatkan 7.000 pesonil di Bandara itu dan mendirikan sebuah kamp kecil militer di sana.
Tanggal 7 April, pasukan AS dan sekutunya mulai melakukan penerangan ke wilayah pusat kota Baghdad. Satuan kendaraan lapis baja AS juga sempat melakukan pengepungan terhadap kompleks Kementerian Penerangan dan Hotel A-Rasheed yang berada di pusat kota Baghdad. Dalam penyerbuan ke tengah kota itu, lebih dari 70 tank MI Abrams dan 60 kendaraan lapis baja tempur Brandley dikerahkan, dan didukung pula oleh pesawat tempur anti-tank A-10 Warthog dan pesawat-pesawat intai kendali jarak jauh tak berawak. Penyerbuan ini mendapat sejumlah pelawanan dari pasukan Irak. Dua personel Marinir AS tewas saat kendaraan lapis baja pengangkut personel yang mereka tumpangi terkena tembakan meriam Irak di pinggiran Baghdad, demikian juga dengan sekelompok kendaraan lapis baja di selatan Baghdad juga mendapat serangan roket dari pasukan Irak dan menewaskan dua orang AS. Pasukan AS berhasil menguasai Istana Baru Saddam. Di pihak lain, pasukan Inggris berhasil melakukan penerobosan di kota Basra dan berhasil menguasai kota itu. Pasukan Irak meskipun kekuatannya melemah, tetapi memberikan perlawanan walau dalam pasukan-pasukan kecil.
Tanggal 8 April, ambisi AS untuk segera menguasai Baghdad membuat pasukan AS semakin gencar menyerang berbagai sasaran di ibukota Irak itu. Serangan udara AS yang membabi-buta itu bahkan menimbulkan korban di kalangan pers. Seorang kamerawan televisi dari Kantor Berita Inggris Reuters tewas dan setidaknya empat wartawan lainnya terluka saat Hotel Palestina yang menjadi tempat penginapan para wartawan asing di Baghdad di serang pasukan AS. Selain para korban dari Reusters, seorang kamaerawan jaringan TV Spanyol Telecinco juga meninggal. Beberapa saat sebelumnya, kantor perwakilan TV Aljazeera menjadi korban serangan udara pasukan AS, seorang korespondennya tewas akibat serangan itu. Selain korban teweas,Aljazeera juga melaporkan seorang kamerawannya terluka akibat pecahan ledakan. Menanggapi hal itu, para komandan pasukan AS mengatakan bahwa saat itu pasukannya dihujani mortir dan granat dari para penembak gelap yang berada di sekitar hotel itu dan pengeboman terhadap Hotel Palestina merupakan ketidaksengajaan.
Tanggal 9 April, Pasukan AS berhasil menerobos ke pusat kota Baghdad tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti dari pasukan Irak. Hal ini menimbulkan keheranan dan kekagetan dari berbagai negara terutama negara Arab, karena dalam berbagai pidatonya selama ini Presiden Irak Saddam Hussein selalu mengatakan bahwa pasukan penyerbu yang hendak menjamak Baghdad akan ditaklukkan di bawah dinding-dinding kota. Banyak pula para pengamat perang yang memperkirakan bahwa akan terjadi perang kota alias urban warfare yang dahsyat di jalan-jalan Baghdad antara pauskan AS dan koalisinya melawan pasukan Irak. Demikian juga dengan rakyat Arab yang menyatakan, “kalah sih, memang wajar, tapi setidaknya harus ada perlawanan yang sengit dari Irak.” Hal ini berbeda dengan kota Basra yang baru saja dikuasai pasukan AS dan koalisinya setelah dua minggu terjadi pertempuran.
Perang yang tidak imbang antara AS dan Irak membuat perang berlangsung dengan cepat. Tanggal 9 April 2003, perang dinyatakan berakhir dengan dikuasainya kota Baghdad, yang merupakan pusat pemerintahan Saddam Hussein, oleh pasukan AS. Namun senjata pemusnah massal yang menjadi alasan utama serangan AS (dan sekutunya) ke Irak tidak juga diketemukan.[15]
Kini invasi AS sudah jadi kenyataan, dengan hasil akhir yang tak diketahui oleh siapapun, termasuk Pentagon, CIA, dan Gedung Putih sendiri, meski korban terbesarnya tentu mudah diketahui. Yang harus dilakukan oleh warga dunia, termasuk Indonesia, adalah: makin menggencarkan demonstrasi  agar AS segera menghentikan pembantaiannya.
Inikah perang yang digambarkan sebagai upaya menumpas biang teroris penyimpan senjata penghancur massal? Atau, seperti yang banyak muncul di media, perang untuk menguasai ladang minyak Irak yang nanti dijadikan sebagai sumber energi AS? Atau, alasan yang lebih sentimental, seperti dikatakan Bush sendiri, “Saddam tried to kill my Dad.” Gara-gara ulah Saddam, Bush senior bisa dipecundangi Bill Clinton pada pemiliran presiden 1992. Ada juga yang menyebut, ini tak lebih perangnya Israel dengan meminjam tangan Amerika langsung ke kancah perang. Bila AS bisa menumpas Irak, strategi untuk memecah belah negeri-negeri Muslim di kawasan itu akan lebih mudah, dan praktis melempangkan jalan tercapainya Israel Raya.
C. Pengaruh Israel dalam Perang AS-Irak tahun 2003
Di antara negara di dunia, tidak ada yang pengaruhnya begitu kuat di AS, selain negara Israel. Kebijakan pemerintah AS yang selalu berpihak kepada negara Israel tidak terlepas dari kekuatan lobi Israel dan para pendukungnya di kalangan elite AS. Di AS terdapat beberapa organisasi lobi Israel yang mempengaruhi kebijakan pemerintah AS terhadap negara Israel. Organisasi yang berpengaruh dalam bidang militer dan pertahanan adalah JINSA (Jewish Institute for National Security Affaris) can CSP (Center for Security Policy). JINSA dan CPS mempengaruhi pemerintah AS untuk melancarkan perang bagi negara yang menentang AS dan Israel, salah satunya dalam perang AS-Irak tahun 2003 ini. Dua organisasi ini bahkan menyatakan bahwa untuk menggulingkan suatu rezim, bukan hanya memberikan dana kepada suatu kelompok di negara tertentu untuk menggulingkan pemerintahan di sana, tetapi juga dengan mengerahkan kekuatan militer AS secara langsung. Peran ini terutama ditujukan bagi negara-negara di Timur Tengah, dimana Israel berusaha meluaskan pengaruhnya.
Tekanan pada pemerintah AS untuk melakukan serangan terhadap Irak dan negara-negara  Islam lainnya atas desakan dari kebijakan pemerintah Israel yang didukung oleh agen-agennya yang berada di dalam pemerintahan di Washington, D.C dilakukan sejak tahun 1996. jaringan mata-mata Israel di dalam pemerintahan AS baru bisa menghancurkan Irak dan menggulingkan Saddam Hussein, ketika Presiden Bush, terperangkap oleh peristiwa 11 September 2001.
Pada tanggal 8 Juli 1996 Richard Perle, Ketua Defence Policy Board Departemen Pertahanan, atas nama Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, menyampaikan sebuah copy dokumen tertulis kepada kongres AS. Dokumen itu berisi rumusan kebijakan politik luar negeri Israel yang baru, yang didalamnya juga memuat kebijakan untuk menghabisi Saddam Hussein, sebagai langkah awal untuk menggulingkan dan mendestabilisasikan pemerintah Saudi Arabia, Suriah, Libanon dan Iran.
Sekelompok ahli strategi pro-Israel di Washington mulai memunculkan skenario penyerangan atas Irak dengna memanfaatkan lembaga think-tank “Konservatif Baru” yang dinamakan PNAC (Project for The New American Century). PNAC mencita-citakan kepemimpinan global As di dunia yang menguasai militer, ekonomi, dunia cyber dan menurut PNAC menguasai Irak merupakan langkah awal dari usaha kepemimpinan global Amerika di dunia. Sebuah artikel berjudul “Invading Iraq Not a New Idea for Bush Clique;s Years Before 9/11 Plan Was Set” (penyerangan atas Irak bukan gagasan baru bagi kelompok Bush), yang ditulis William Bruch dan diteritkan pada the Philadelphia Daily News menyatakan : “namun kenyataannya, Rumsfeld, Dick Cheney, dan sekelompok kecil ideolog konservatif, telah memulai wacana penyerangan Amerika atas Irak sejak 1996. lima tahun sebelum serangan 11 September dan empat tahun sebelum Presiden Bush memegang pemerintahan”.[16]
Tahun 1998 Netanyahu dan Perle berseama jarigan agen Israel yang berpengaruh di AS yaitu JINSA merayu presiden (Clinton) untuk melancarkan perang kepada Irak dengan tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal. Pada Desember 1998 Presiden Clinton mengumumkan sernagan AS ke Irak yang dberi nama “Operation Desert Fox” (Operasi Rubah Gurun). Namun serangan yang berlangsung selama 70 hari itu gagal menumbangkan Saddam Hussein, dan perseoalan itu tetap seperti “api dalam sekam” hingga tiga tahun kemudian sampai adanya peristiwa 11 September 2001.[17]
Setelah peristiwa serangan atas New York dan Washington pada 11 September, jaringan lobi Israel kembali menyuarakan perang kepada Presiden Bush. Mereka menekan presiden Bush untuk maju perang menghabisi Irak dengan alasan keterlibatan Irak membantu al-Qaedah dalam serangan 1 September 2001, kepemilikan senjata-senjata pemusnah massal dan menumbangkan pemerintahan diktator. Pemerintahan Ariel Sharon menyatakan bahwa serangan 11 September dilakukan atas perintah dari Saddam Hussein, dan menuntut tindakan pembalasan terhadap Irak. Dengan adanya peristiwa ini,  kemudian Presiden Bush mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengirim Tim Inspeksi UNMOVIC ke Irak.
Dengan adanya serangan AS ke Irak, serta mencari dukungan masyarakat Indonesia, Duta Besar Irak untuk Indonesia menyatakan: “Penyebab AS dan sekutunya bersikukuh menyerang Irak tidak terlepas dari peranan zionis Israel yang ingin menciptakan negara Israel Raya yang wilayahnya mencakup seluruh Jazirah Arab. Rencana zionis Israel itu sudah dirancan sejak jauh-jauh hari dari atau sebelum George W. Bush menjabat sebagai Presiden. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka AS dan sekutunya melakukan tuduhan Irak menyimpan senjata pemusnah massal. Tetapi setelah terbukti bahwa senjata pemusnah massal tidak pernah ditemukan di Irak, maka tuduhan AS pun beralih, yakni dengan mewujudkan demokrasi dengan mencongkel Saddam Hussein dari bangku kepresidenan.
D. Akhir dari Perang AS-Irak tahun 2003 beserta dampaknya
Hancurnya pemerintahan Saddam Hussein memberi kesempatan Israel untuk memegang kekuasaan tunggal di kawasan Timur Tengah. Israel dengan gencar mendesak Washington agar menyerang Irak dan menjatuhkan pemerintahan Saddam Hussein, karena rezim tersebut sangat membahayakan posisi Israel. Ambisi Israel untuk menancapkan pengaruhnya secara utuh di kawasan Timur Tengah memang terhalang oleh Irak. Hal itu dikarenakan pemerintahan Saddam Hussein memiliki kekuatan militer yang sangat mengancam Israel, antara lain rudal al-Samoudi, rudal scud dan jumlah pasukan Saddam Hussein yang berjumlah ratusan ribu.
Sejak munculnya gagasan “Jewish National Home” (Rumah Nasional Yahudi) para Kongres Zionis di Bassel, Swiss, tahun 1898 ditetapkan negara bangsa Israel itu kelak berdiri di atas tanah Palestina. Batas-batas rumah nasional yang disebut “Israel Raya” itu adalah di sebelah barat sungai Nil (Mesir), di sebelah timur sungai Eufrat (Irak). Wilayahnya mencakup kawasan antara dua sungai besar tersebut, termasuk Madinah al-Munawarrah yang dikabarkan sebagai tempat pemukiman Yahudi Bani Wuraidhah dan Bani Nadlir tempo dulu. Untuk mewujudkan cita-cita “Israel Raya”, Israel harus menghancurkan Irak karena bagi Israel, Irak merupakan ancaman karena selain Irak menentang keras eksistensi negara Israel, pemerintahan Saddam Hussein selalu menggalang dukungan dari negara-negara Timur Tengah untuk melawan Israel.[18]
Negara Israel berdiri pada 14 Mei 1948 dengan menyingkirkan bangsa Arab Palestina. Negara Israel sudah terwujud tetapi kaum zionis belum puas, sebab batas-batas yang merupakan historical right (hak sejarah) versi mereka belum terwujud. Sungai Nil masih dikuasai Mesir dan Sungai Eufrat masih berada di teritorial Irak. Bangsa Israel beranggapan bahwa mereka memiliki Ardul Mauhud atau tanah yang dijanjikan Tuhan, dalam kitab sucinya, antara Sungai Nil dan Eufrat. Tanah ini juga disebut bumi terbuka “Ardlul Miftuhah” atau Bumi Daud, bumi bekas kekuasaan zaman Nabi Daud dan Sulaiman. Anggapan dan kepercayaan bangsa Israel ini menjadi pijakan untuk mendirikan Israel Raya.
Dalam  mendukung  rencana  Israel  menguasai  Timur-Tengah, kelompok lobi Israel di AS mendorong pemerintah AS untuk berperang tidak hanya kepada Irak, tetapi Israel juga berencana agar AS berperang dengan Saudi Arabia, Syria, Mesir dan Iran. Sejak berdirinya, Israel telah bercita-cita untuk menata Timur Tengah sesuai dengan kepentingan strategisnya, dan menjadikannya mudah diatur sehingga tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel. Untuk mendukung cita-cita ini, Israel meminta bantuan negara AS untuk memerangi negara-negara yang menentangnya.
Sebuah laporan  berjudul  “A  Strategi  for  Israel  in  the  Nineteen Eighties” (Strategi  Isrel  di Tahun 1980-an), oleh majalah berbahasa Ibrani terbitan Departemen Informasi negara Israel, yang bernama Kivunim, berisi rencana menjadikan seluruh kawasan Timur Tengah sebagai wilayah pemukiman Israel dan rencana untuk membagi Irak. Rencana untuk membagi Irak yaitu: “Irak, negeri kaya minyak yang mengalami perpecahan dalam negri, dijamin bakal menjadi sasaran Israel. Mengakhiri riwayat Irak jauh lebih penting bagi kita daripada Syria. Sekali lagi, Irak pada intinya tidaklah berbeda dengan para tetangganya, meskipun sebagian besar penduduknya adalah penganut Syi’ah dan sebagian kecil Sunni yang menguasai pemerintahan. Enam puluh lima persen penduduknya tidak mempunyai andil dalam politik di negara dimana sekelompok elite berjumlah 20 persen memegang kekuasaan. Selain itu terdapat minoritas Kurdi berjumlah besar di wilayah utara, dan jika bukan karena kekuatan rezim yang memerintah, angkatan besenjatanya, dan pemasukannya dari minyak, masa depan Irak akan takkan berbeda dengan nasib Libanon di masa lalu. Dalam kasus Irak, pembagiannya menjadi sejumlah provinsi berdasarkan garis suku atau agama sebagaimana yang terjadi pada Syria di masa kekhalifahan Utsmaniyah adalah sesuatu yang mungkin. Jadi, tiga (atau lebih) negara kecil akan terbentuk di tiga kota utama; Basrah, Baghdad, dan Mosul; dan wilayah kaum Syiah di selatan akan terpisah dari wilayah kaum Sunni di Irak tengah dan suku Kurdi di Utara.”
Serangan AS ke Irak pada tahun 2003 menimbulkan dampak yang cukup besar, diantaranya:
1. Adanya perubahan sosial pada masyarakat Irak pasca Invasi AS.
Perubahan sosial yang muncul sebagai dampak dari Invasi Amerika pada masyarakat Irak salah satunya adalah adanya kekhawatiran meletusnya perang saudara diantara penduduk Irak sendiri, khususnya antara pendukung setia Saddam dan kelompok yang kontra terhadapnya. Seperti diketahui bahwa masyarakat Irak terbagi ke dalam dua bagian besar kelompok dilihat dari sikap mereka terhadap Saddam Husein, kelompok utama dari para pendukung atau pengikut partai Baath, sebuah partai terbesar sebagai wadah politik Saddam semasa pemerintahannya, dan kelompok kedua kontra yang umumnya dari orang-orang yang bermazhab Syi’ah di Irak, karena Saddam dinilai diktator dan bertindak sewenang-wenang terhadap para pengikut Syiah di negerinya.
Kelompok yang kontra terhadap Saddam sebetulnya bukan datang dari para pengikut Syiah saja, akan tetapi juga dari para penduduk Kurdi, karena memang dari segi pemerataan pembangunan di Kurdi sangat tidak seimbang dengan pembangunan di wilayah-wilayah lain yang ada di Irak. Hal itu tampak jelas dari keterlibatan langsung para pejuang Kurdi dalam membela Amerika untuk menggulingkan Saddam Husein, karena adanya harapan dari para pejuang Kurdi untuk menduduki tahta pemerintahan Irak pasca jatuhnya Saddam Husein.
Seperti diketahui bahwa di Irak, mayoritas penduduknya adalah Muslim dan 60% bermazhab Syiah, sedangkan 40% lainnya terbagi ke dalam kelompok Muslim yang bermazhab Sunni dan pengikut agama-agama lain. Perlakuan Saddam Husein terhadap kelompok Syiah tidak semanis perlakuannya terhadap kelompok Muslim Sunni. Para pengikut Syiah selalu mendapatkan perlakuan yang buruk dari Saddam Husein, terbukti pada masa pemerintahannya banyak dari para kalangan ulama Syiah yang dengan terang-terangan dibunuh atau disingkirkan dari Irak. Di antara ulama yang dibunuh oleh Saddam adalah Ayatullah Murtadha Muthahhari dan Ayatullah Baqir Shadr, sebagai ulama besar Syiah yang menjadi panutan para pengikut Syiah. Hal ini jelas menjadikan satu trauma tersendiri bagi para pengikut Syiah terhadap Saddam sehingga mereka mengambil jalur menentang terhadapnya.
Sedangkan di antara orang-orang yang pro terhadap Saddam, umumnya berasal dari para pengikut Sunni, terutama di daerah Tikrit, sebagai basis dan tempat lahir Saddam Husein.hampir mayoritas penduduk Tikrit yang mayoritas penduduknya bermazhab Sunni adalah pembela dan pendukung Saddam.
Latar belakang permusuhan antara kelompok pro dan kontra terhadap Saddam di atas lebih memanas setelah runtuhnya rezim Saddam dari tampuk kekuasaan di Irak. Kedua fenomena di atas jelas akan menimbulkan konflik internal di antara masyarakat Irak. Pertama, yaitu perang saudara atau perseteruan antara kelompok Sunni dan Syiah, sudah terbukti dari kasus terbunuhnya pemimpin spiritual Kaum Syiah Irak, yaitu Abdul Majid al-Khui (putera bungsu Ayatullah al-Khui sebagai tokoh paling penting di mata para pengikut Syiah Irak). Dan hal ini akan terus berlanjut sampai ada kebijakan politik dan sosial yang akan meredam permusuhan mereka, yang datangnya dari pihak pemerintahan yang menjadi alat untuk mendamaikan kedua kelompok yang bermusuhan tersebut.
Aktivitas keterlibatan para pejuang Kurdi dalam Invasi Amerika menambah   kekisruhan   serta   akan  menimbulkan  satu  peta  politik  yang  akan tampak di Irak, persaingan dan perseteruan antara pejuang Kurdi yang mengincar kursi pemerintahan Irak akan bentrok dengan sendirinya dengan para pengikut Syiah yang juga merasa berhak menduduki kursi pemerintahan karena sebagai kaum mayoritas di Irak.
Setelah pemerintahan Saddam jatuh tidak tampak lagi bekas-bekas kejayaan Bani Abbasiyah di negeri itu. Segalanya tampak suram. Letupan suara senjata dan puing-puing bangunan di sepanjang kota telah merubahnya menjadi negeri seribu satu bom. Semakin hari semakin kompleks persoalan dalam negeri Irak. Berbagai permasalahan melanda bangsa. Kontak senjata antara serdadu AS dengan warga Irak sering terjadi. Perseteruan antara kubu Sunni-Syi’ah yang membuahkan beribu korban dari kedua belah pihak menambah semarak gaung permusuhan. Bau bom dan mesiu menjadi aroma dan parfum kehidupan disana. Para penduduk Irak kini lebih mementingkan membeli senjata dibanding membeli bahan makanan. Seorang pensiunan perwira Irak, Mohammed Jasim El-Azraki menyatakan bahwa membeli senjata saat ini adalah kebutuhan prioritas rakyat Irak. Dalam suasana kacau ini setiap orang perlu menjaga diri karena tidak ada yang tahu siapa kawan siapa lawan.
Pada 1 Mei 2005 di Talafar, kota dekat perbatasan Syi’ah, seorang pelaku pemboman menabrakkan mobilnya ke sebuah kemah yang dipenuhi pelayat, dalam acara pemakaman seorang pemimpin Kurdi. Sekitar 30 orang tewas dan 50 lainnya luka-luka. Tiga hari kemudian, aksi yang sama menyerang sejumlah orang Kurdi yang sedang antre di luar kantor Partai Demokratik Kurdistan (PDK), di Irbil, Irak Utara. Sekitar 60 orang juga terbunuh di luar sebuah klinik di kota Hilla.[19]
Ketegangan hubungan antara kaum Kurdi dan Sunni memang sudah terjadi, khususnya di kawasan utara kota minyak, Kirkuk. Kurdi mengklaim Kirkuk sebagai miliknya. Tetapi hal tersebut ditentang Arab Sunni yang ditempatkan di kawasan itu dalam jumlah besar oleh pemerintah Partai Baath di bawah pimpinan Presiden Saddam Hussein. Berbagai serangan dan kekerasan mutakhir diperkirakan semakin mempertajam ketegangan antara kedua komunitas itu. Hal yang mungkin akan semakin mendorong kaum Kurdi menuntut kemerdekaan dan membentuk negara Kurdistan.[20]
Kemungkinan akan terjadinya bentrokan antara pasukan arab Sunni dan suku Kurdi dapat saja terjadi. Hal ini mengingat bahwa suku Kurdi merasa telah terzalimi di bawah pemerintahan arab Sunni yang dipimpin Saddam. Suku Kurdi juga berambisi menguasai tambang minyak Kirkuk. Penguasaan tambang minyak tersebut adalah cara efektif untuk menguasai dan mengolah minyak Irak dan meningkatkan incomekeuangan. Persoalan Kirkuk ini pun semakin mencuat setelah pemilu Desember 2005 kemarin. Ribuan rakyat Kurdi menduduki kota minyak tersebut. Pada umumnya mereka dibiayai oleh dua partai besar Kurdi; Partai Demokratik Kurdistan (PDK) dan Uni Patriotik Kurdistan (UPK).
Munculnya pemerintahan baru yang didominasi Syi’ah pimpinan Perdana Menteri Ibrahim Al Jaafari kembali membuka luka-luka sektarian di Irak. Ketegangan Sunni-Syi’ah semakin mengemuka. Sejak Al Jaafari mengumumkan susunan kabinetnya, kekerasan meningkat. Suara jeritan dan erangan yang bersatu dengan suara senapan semakin merobek hati. Mantan perdana menteri Irak, Iyad Allawi, kepada BBC, akhir bulan lalu mengatakan bahwa antara 50 sampai 60 orang terbunuh tiap harinya di Irak, dan ini menandai negara itu sedang berada dalam ‘perang saudara’.
Bahwa pihak-pihak asing menjadi aktor di balik pertumpahan darah sektarian ini adalah fakta yang tidak terbantahkan. Peledakan mesjid milik Syi`ah di Samarra misalnya, kepentingan asing diduga kuat berada di balik layar. Deretan provokasi itu hingga saat ini kelihatannya sukses menabuh genderang perang saudara di lembah Mesopotamia itu.
Dari segi pergeseran nilai dan peradaban pada negeri Irak, jelas akan mengalami perubahan yang signifikan dikarenakan akan ada pemerintahan baru yang akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru untuk pembangunan kembali negeri Irak pasca invasi. Peradaban Irak di masa depan akan lebih terbuka dan demokratis dibanding pada saat masa Saddam Husein yang selalu lebih mengutamakan perang sebagai alat menegakkan kehormatan bangsa. Irak memerlukan sosok yang dapat menaikkan derajat bangsa Irak di mata internasional, bukan sebagai pelopor dalam bidang perang dan senjata nuklir, tetapi pelopor dari kemajuan peradaban dunia, seperti pendidikan, teknologi, seni, dan pemikiran.
2. Adanya perubahan sistem ekonomi masyarakat Irak pasca Invasi AS.
Untuk kondisi ekonomi Irak pasca Invasi Amerika, umumnya para peneliti lebih menyoroti tentang masalah minyak. Irak terkenal dengan banyak ladang minyak yang terkandung di negerinya, sehingga Irak merupakan negara yang menduduki posisi kedua produsen minyak setelah Arab Saudi. Masalah minyak inilah yang menjadi fokus dari perhatian dunia terhadap Irak, tak terkecuali Amerika dan Israel yang berkeinginan untuk menguasai ladang-ladang minyak Irak. Lebih dari itu, soal minyak ini menjadi ulasan penting di balik invasi AS ke Irak. Hingga akhir Maret 2003, tercatat cadangan minyak di Irak mencapai 112,6 miliar barel atau merupakan cadangan terbesar kedua di dunia, setelah Arab saudi yang di atas 200 miliar barel. Rata-rata produksi minyak Irak yang terkait dengan program minyak untuk pangan sebesar 2,5 juta bph.
Minyak menjadi pendapatan utama pemerintahan Irak, yakni sekitar 95%, lainnya dari perdagangan umum dan wisata. Setiap tahunnya Irak memperoleh pendapatan sekitar 22 miliar dolar AS dari minyak. Minyak itu kebanyakan diekspor ke Amerika.[21] Dari penjelasan mengenai peta ekonomi Irak di atas, dapat dikatakan bahwa sentral ekonomi utama Irak adalah minyak. Hal ini di masa depan akan menjadi satu sejarah tersendiri bagi Irak, yaitu akan adanya pemusatan konsentrasi pengiriman minyak secara besar-besaran setiap tahunnya ke AS, karena diduga oleh sebagian besar para pakar ekonomi bahwa tujuan utama invasi AS ke Irak dibalik pelucutan senjata kimia Irak adalah juga untuk menambah cadangan minyak di negerinya yang setiap tahunnya harus import dari luar negeri Amerika. Hal ini jelas akan menimbulkan satu tingkat kesenjangan ekonomi bagi Amerika, dikarenakan minyak adalah kebutuhan utama bagi setiap negeri. Oleh karena itu, AS pasca invasi, akan mengandalkan cadangan minyak negerinya dari Irak.
AS sebagai satu-satunya negara superpower baik dalam bidang militer maupun ekonomi, kini telah menunjukkan kekuatannya di mata internasional. Dalam bidang militer, kekuatan AS nyaris tak tertandingi setelah bubarnya Uni Sovyet, sehingga AS dapat merajalela menciptakan aksi militer/peperangan di kawasan mana saja di dunia tanpa ada yang mampu menghalangi. Terlebih di kawasan yang mengandung sumber daya alam yang sangat dibutuhkan AS. Amerika tidak segan-segan melakukan agresi seperti yang dilakukan terhadap Irak.
Pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak. Meskipun AS sangat kuat dalam bidang militer dan ekonomi negeri yang mata uangnya mendominasi transaksi perdagangan, investasi, dan cadangan devisa setiap negara itu juga mempunyai kelemahan yang sangat sulit untuk dibantah atau disembunyikan. Kelemahan yang membayangi kedigdayaan militer dan ekonomi AS saat ini adalah di bidang energi, khususnya minyak bumi. AS bisa saja jadi superpower dengan penguasaan teknologi ditunjang dengan kualitas sumber daya manusia prima dan wilayah daratan yang sangat luas. Namun, negeri ini tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa minyak yang ada di perut buminya sangat tidak sebanding dengan kebutuhan dalam negeri.[22]
AS membutuhkan minyak yang terus meningkat seiring dengan kegiatan ekonominya. AS berbeda dengan negara konsumen minyak lain karena konsumsi minyak melebihi seperempat dari total konsumsi dunia. Sedangkan menurut para ahli geologi, minyak yang ada di perut bumi AS relatif tidak memadai dibanding kebutuhan yang seharusnya. Dengan tingkat produksi saat ini sekitar delapan juta barel per hari (jbh) atau sekitar tiga miliar barel per tahun, cadangan yang ada di perut bumi AS ini akan kering sekitar 10 tahun lagi. Statistik menunjukkan AS mengonsumsi sekitar 20 jbh atau 26% dari total konsumsi minyak dunia sebesar 78 jbh. Dengan demikian, tingkat kebergantungan pada minyak impor akan meningkat dari 52% pada 2001 menjadi 66% pada 2020.
Dalam kondisi ekonomi makro Irak, diduga akan terjadi pergeseran penguasaan minyak di Irak. Hal itu tentu terdapat sejarah yang melatarbelakanginya. Mula-mula, pada September 1960 Irak, Saudi, Iran, Kuwait, dan Venezuela memelopori berdirinya OPEC di Baghdad. Kelahiran OPEC ini dipicu ulah perusahaan minyak AS (Exxon) yang menurunkan harga minyak. Harga yang selama 60 tahun sudah sangat rendah itu diturunkan 7% pada Juni 1960 sehingga sangat mengecawakan negara penghasil minyak.
Harga minyak sekitar US$2/barel sudah berlalu. Dipicu perang Arab-Israel, OPEC menaikkan harga posted minyak Timur-Tengah dari US$2/barel menjadi US$12/barel, kemudian Revolusi Iran mendorong mendorong OPEC menaikkan harga ke US$35/barel. Tidak ayal, dengan posisi OPEC yang demikian kuat mempengaruhi perekonomian dan gaya hidup masyarakat AS. OPEC menjadi sangat dibenci oleh AS. Bahkan, Parlemen Federal dan terakhir pada 2000 Parlemen Negara Bagian Alabama telah mengeluarkan UU Anti-OPEC.
Perlu diketahui, kalau OPEC sudah lemah dan mungkin akan bubar maka tidak otomatis pasar dan industri minyak dunia akan menuju pola persaingan pasar bebas seperti diembuskan neoliberalis. Pasalnya, peran OPEC sebagai ‘pendistorsi’ dan penentu suplai dan pasar minyak dunia akan diambil The Five Sisters (ExxonMobil, BPAmocoArco, ShellPennzoil, TotalFinaElf, dan ChevronTexaco) yang jauh lebih besar daripada the Seven Sisters dahulu. Di samping itu, negara industri maju nyaris mustahil untuk bersedia menghilangkan pajak bensin/minyak yang sangat tinggi. Kalau itu terjadi maka dampak jangka panjang dari invasi Amerika adalah berubahnya struktur industri minyak dunia. Peran OPEC dan BUMN minyaknya akan lenyap secara bertahap dan akan digantikan perusahaan minyak raksasa yang sebagian besar adalah perusahaan minyak AS.
Selain Amerika, seperti dikutip oleh BBC London, diam-diam Israel pun akan mencuri keuntungan dari tumbangnya Saddam Husein. Menteri Infrastruktur Israel, Joseph Paritzky menyatakan ingin membuka kembali pipa saluran minyak Irak-Yordania-Israel yang telah ditutup selama 55 tahun lalu, aksi itu akan memotong biaya bahan bakar di Israel dan membantu regenerasi kota pelabuhan Haifa.
Belum ada komentar resmi dari pemerintah Yordania. Namun, kabar bahwa Israel hendak mengambil keuntungan dari tumbangnya Saddam Hussein nampaknya menimbulkan kegusaran banyak orang di negara-negara Arab. Pipa minyak tersebut dibangun usai Perang Dunia I setelah Inggris mengambil alih kekuasaan Irak, Yordania, dan Palestina.  Saluran pipa dari Irak ke Yordania masih berfungsi, namun, rute pipa dari Yordania ke pelabuhan Haifa, yang kini berada di Israel, dipotong tahun 1948 saat pendudukan Inggris berakhir, disusul Perang Kemerdekaan dan pendirian Israel.
Keminfra Israel menyatakan, pembukaan kembali pipa tersebut memudahkan mengakses minyak Irak dan menekan biaya bahan bakar di Israel. Juga, membantu regenerasi Haifa yang mengalami pukulan hebat saat resesi ekonomi Israel menghantam. Untuk saat ini, nampaknya ini hanya merupakan inisiatif personal dari Paritzky yang berasal dari Partai Shinui yang sekuler, daripada sebuah kebijakan resmi dari pemerintahan koalisi Perdana Menteri (PM) Ariel Sharon.
Israel dan Yordania dikabarkan akan mengadakan pertemuan untuk membicarakan kemungkinan pembukaan pipa saluran minyak yang membentang dari Mosul, Irak, hingga pelabuhan Haifa, Israel utara. Seorang sumber menyatakan, Paritzky akan menemui pejabat pemerintah Yordania untuk membahas masalah ini, didasarkan adanya asumsi pemerintahan pro-Barat yang akan berkuasa di Irak pasca-invasi.”Yordania telah mengontak kantor PM yang kemudian meminta Paritzky untuk mengadakan pertemuan dengan para pejabat Yordania, kami tahu, bagian pipa di sini (Israel) dalam kondisi prima. Namun, kami ingin mengetahui kondisi bagian pipa di Yordania sehingga ini bisa dimulai dengan mudah.”
Pada tanggal 31 Maret lalu, Haaretz melaporkan, Partizky telah meminta peninjauan kondisi pipa tua dari Mosul-Haifa untuk memperbarui aliran minyak saat rezim Irak pasca-invasi berkuasa. Paritzky menjelaskan, menghidupkan kembali pipa tersebut ke Haifa dapat menyelamatkan Israel dari biaya pengapalan minyak dari Rusia yang tinggi.
Keminfra Israel mengatakan, Paritzky yakin, menyalurkan minyak melalui pipa tersebut dapat menekan biaya bahan bakar Israel sebanyak 25 persen dan menjadikan Haifa sebagai ‘Rotterdam Timur Tengah’. Hal itu tentu saja mengandung banyak resiko, yaitu akan tersisihkannya perekonomian negeri Irak, karena penghasilan utama mereka akan menyusut drastis karena ada monopoli minyak oleh pihak Amerika dan Israel. Namun, di sisi lain, harapan untuk meningkatnya sektor ekonomi Irak masih ada, yaitu diprediksikan akan majunya penduduk Irak di bidang penguasaan IPTEK karena adanya turun tangan langsung Amerika ke Irak sehingga akan terjadi satu proses belajar dari penduduk Irak terhadap teknologi-teknologi baru yang akan didatangkan dari Amerika.
3. Adanya perubahan politik di Irak pasca Invasi AS.
Serangan yang dilakukan Amerika kepada Irak membawa banyak kehancuran di Irak. Serangan yang terjadi tanggal 20 Maret 2003 tersebut merupakan tindakan Amerika Serikat yang ditujukan untuk memecahkan tiga masalah besar yang terdapat di Irak. Pertama, Irak dipimpin oleh seorang diktator yang represif serta otoriter yaitu Saddam Husein. Kedua, Irak merupakan negara yang agresif dan selalu membahayakan rakyatnya sendiri. Ketiga adalah Irak dianggap sebagai negara yang memiliki senjata pemusnah massal. Amerika mengatakan bahwa serangannya ke Irak ini adalah untuk menegakkan demokrasi di Irak.
Secara umum, serangan AS yang bertujuan untuk menegakkan demokrasi di Irak telah berhasil menggulingkan rezim Saddam Hussein. Dari perspektif AS, hal ini sudah merupakan titik tolak bagi proses demokratisasi di Irak. Disamping itu, komunitas Syiah dan Kurdi di Irak cenderung menyambut baik keberhasilan AS menjatuhkan rezim Saddam Hussein. Karena selama dipimpin oleh Sadam, masyarakat Syiah dan Kurdi mengalami berbagai tindakan yang sangat diskriminatif seperti pembatasan dalam kegiatan politik, dan juga ketidakadilan di berbegai aspek kehidupan terutama ekonomi. Sehingga ketika rezim saddam Hussein digulingkan, kaum Syiah dan Kurdi di Irak menyambutnya dengan sukacita. Hal ini terlihat dari reaksi masyarakat Irak ketika Saddam tertangkap tertangkap di Tikrit pada tanggal 13 Desember 2003. Di sini terlihat bahwa masyarakat Irak menganggap keberhasilan ini sebagai salah satu awal dari demokratisasi di Irak.
Meskipun sebenarnya banyak kalangan yang cenderung skeptis dalam melihat  peristiwa ini karena cara-cara yang digunakan oleh AS itu sendiri sangat tidak demokratis, mereka berpendapat bahwa serangan itu sudah melanggar tatanan-tatanan politik modern, seperti piagam PBB, kedaulatan, otoritas, legitimasi politik, dan prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan prasyarat terwujudnya stabilitas politik. Namun kita tidak bisa memungkiri bahwa ketika rezim Saddam terguling, setidaknya Irak sudah terbebas dari tirani yang menyengsarakan sebagian besar rakyat Irak. Pada tanggal 15 Desember 2005, Pemilu demokratis diadakan di Irak di mana Kelompok Sunni yang diwakili oleh United Iraqi Alliance  memperolah kursi terbanyak di Parlemen Irak yaitu sebanyak 128 dari total 275 kursi yang ada. Terlihat bahwa dengan adanya Pemilu legislatif di Irak, seluruh masyarakat Irak bisa menyuarakan aspirasinya secara bebas dan tanpa tekanan seperti pada masa rezim Saddam Hussein dulu. Kaum Syiah, Sunni, dan juga Kurdi memiliki representasi yang hampir sesuai dengan populasi mereka di Irak, dan ini sudah menggambarkan demokratisasi sudah berjalan di Irak dan memberikan dampak posistif bagi kehidupan politik rakyat Irak. Selain itu Setelah Saddam terguling,  ada usaha untuk menyatukan negeri itu yakni dengan membentuk Dewan Pemerintah yang beranggotakan para wakil dari seluruh komponen yang ada di Irak. Dewan Pemerintah yang dipilih oleh pasukan penjajah pimpinan AS itu beranggotakan 25 orang. Dan jumlah anggota masing-masing komponen pun disesuaikan dengan jumlah mereka secara keseluruhan. Musim Syiah memiliki 13 wakil, Muslim Sunni lima wakil, Kurdi lima wakil, Kristen satu wakil, dan Turki satu wakil.[23]
Meskipun pemilu berhasil dilaksanakan, namun legitimasi pemerintah hasil pemilu sangat rendah karena rakyat Irak menganggap pemerintahan hasil pemilu adalah pemerintahan boneka Amerika dan rakyat juga ragu terhadap kapabilitasnya. Legitimasi politik yang rendah tersebut dapat menyebabkan ketidakstabilan politik yang ditandai dengan tingginya intensitas kekerasan dan konflik yang terus terjadi karena penguasa gagal untuk menjalankan kekuasaan yang disebabkan oleh rakyat yang tidak mau menaati peraturan-peraturan yang ditetapkan penguasa. Oleh karena rakyat tidak taat, maka penguasa juga akan gagal mengendalikan konflik. Karena upaya membangun demokrasi yang dilakukan Amerikia tidak otoritatif, tidak melalui persetujuan PBB, akibatnya penguasaan Amerika dan kemudian pemerintahan hasil bentukannya menjadi tidak memiliki legitimasi yang ditandai kekerasan terus-menerus. Invasi Amerika Serikat ke Irak bukannya membawa perdamaian dan kesejahteraan di Irak khususnya dan Timur Tengah pada umumnya, namun semakin meningkatkan terorisme dan radikalisme. Membuat stabilitas politik semakin terganggu, kekerasan semakin meningkat, dan yang jelas harapan akan terwujudnya negara yang demokratis akan semakin jauh dari kenyataan.
Dalam menghadapi isu Irak, kalangan Muslim, baik Sunni maupun Syiah, mempunyai sikap sama yaitu menolak invasi militer AS. Namun, respon kalangan Islam radikal lebih mengkhawatirkan. Mereka akan menggunakan sentimen agama dalam melakukan reaksi, sehingga menganggap krisis Irak sebagai perang agama. Selain itu, kebencian kepada Presiden Bush membuat mereka akan menemukan sosok “pahlawan Islam” pada diri Saddam Hussein. Saddam akan dijadikan simbol perlawanan atas hegemoni Barat dan dianggap mewakili kepentingan seluruh Muslim di dunia. Kalangan Islam radikal ini sering tidak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan untuk melakukan tindakan balasan atas AS. Meski Saddam dapat dijatuhkan, namun semangat “jihad” akan terus menyebar dan terus menjadi ancaman bagi kepentingan ekonomi-politik AS dan negara-negara Barat lain. Pengiriman sukarelawan jihad dari berbagai negara Islam akan terus mengalir. Belum lagi aksi-aksi sweeping dan razia atas orang-orang Barat yang telah diserukan beberapa kelompok Islam radikal. Akibatnya, alih-alih dapat memberi inspirasi reformasi di dunia Islam, invasi AS ke Irak malah kian menyuburkan terorisme dan radikalisme. Seperti kita semua ketahui, pasca serangan Amerika Serikat ke Irak, terjadi banyak serangan bom bunuh diri di Irak.
Demikianlah penjabaran mengenai dampak positif maupun negatif yang diterima Irak sebagai akibat dari invasi Amerika ke Irak. Demokratisasi di suatu negara tidak dapat dipaksakan, terlebih justru dibangun berdasarkan cara-cara yang tidak demokratis. Yang terjadi kemudian adalah membuat pemeriintahan yang baru menjadi tidak  legitimate, selain itu keterpurukan ekonomi yang terjadi akibat dampak perang menjadikan proses demokratisasi di Irak terhambat.
Merujuk pada tujuan dasar dari demokrasi dalam mewujudkan keamanan manusia, hingga saat ini demokratisasi AS di Irak tidak menampakkan adanya hasil yang signifikan mengenai hal tersebut. Irak justru cenderung semakin kacau pasca invasi yang dilakukan oleh AS. Melihat betapa besarnya kepentingan AS di kawasan Timur Tengah, maka penulis menduga bahwa demokratisasi AS terhadap Irak hanyalah merupakan alat bagi AS untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat internasional guna mencapai kepentingan nasionalnya di kawasan Timur Tengah. AS memanfaatkan Irak sebagai pintu masuk untuk mendapatkan akses yang lebih besar dalam mengendalikan negara-negara Timur Tengah lainnya yang dianggap dapat mengancam kepentingannya, terutama Iran dan Syiriah.
Selain menimbulkan dampak yang cukup besar bagi Irak sendiri, ternyata Invasi AS ke Irak pada tahun 2003 juga menimbulkan dampak bagi konflik antara Israel dengan Palestina. Invasi AS ke Irak mengakibatkan Israel semakin berani menekan pihak Palestina, sehingga proses perdamaian Arab-Israel yang telah dirintis sejak perundingan Oslo tahun 1993 menjadi tidak berarti. AS yang selalu menjadi pendukung eksistensi negara Israel semakin memberi peluang kepada negara itu untuk mempertahankan eksistensinya, karena Irak yang selama ini menentang Israel telah dihancurkan oleh AS. Untuk menghindari kesan terlalu membela Israel, AS bersama Uni Eropa, Rusia dan PBB segera merancang Road Map Peace (Peta Jalan Damai) yang berisi tentang perdamaian antara Israel dan Palestina.
Dalam perkembangannya, pelaksanaan “Peta Jalan Damai” dapat dikatakan sukar untuk terwujud karena di kalangan militer Israel sendiri juga terus berkembang anggapan bahwa rakyat Palestina adalah pihak yang kalah dalam pertarungan meraih “hak” atas bumi Palestina, terutama daerah-daerah yang diduduki Israel. Hal inilah yang menjadikan seolah-olah Palestina tidak memiliki arti apa-apa di mata Israel, khususnya di kalangan militernya. Pernyataan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Israel, Letjend. Mosche Ya;alon, “Rakyat Palestina harus disadarkan sesadar-sadarnya bahwa mereka adalah orang-orang yang kalah.” Ucapan Mosche ini jelas menunjukkan betapa petinggi militer Israel terkesan sangat meremehkan rakyat Palestina.
Setelah Irak yang merupakan pendukung gerakan perlawanan Palestina, dihancurkan oleh AS maka Israel semakin leluasa menyerang Palestina. Israel telah melakukan pengepungan secara menyeluruh terhadap jalur Gaza dan berencana untuk menghancurkan berbagai elemen dan perjuangan rakyat Palestina. Tujuan utama dari pemerintah Israel adalah untuk menguasai Timur Tengah termasuk Palestina untuk mendirikan Israel Raya. Untuk melaksanakan usaha itu, Israel berencana untuk mengusir rakyat Palestina ke negara Arab tetangga, terutama Jordania. Usaha pengusiran rakyat Palestina ini diistilahkan pemerintah Israel dengan “Negara Alternatif Palestina”, karena bagi Israel, hal itu merupakan solusi yang tepat. Sementara pihak Jordania walaupun nampaknya berusaha menyembunyikan rasa takut dan khawatirnya, tetapi tidak bisa menolak semua rencana Israel yang didukung AS, karena AS sudah memberikan peringatan kepada Jordania sebuah ancaman akan menjadikan Jordania sebagai Irak kedua kalau tidak mau membantu kepentingan Israel dan AS.[24]
Setelah Saddam Hussein berhasil diguingkan akan digantikan oleh pemerintah boneka yang loyal AS, tindakan AS ini diarahkan agar Israel dapat dengan mudah mengusir penduduk Palestina ke Irak, karena selama ini ada ratusan ribu pengungsi di selatan Irak, tetapi tetap tidak mau masuk ke Irak. Mengenai Palestina, menjadikan Palestina sebagai agenda Afganistan kedua dengan menghadirkan seorang pemimpin Palestina seperti Hamid Karzai merupakan rencana strategis Israel dan AS. Karena selama ini “Peta Jalan Damai” yang diajarkan AS dengan agendanya menghentikan perlawanan Palestina mendapat perlawanan keras dari pejuang Palestina terutama Hamas.

0 komentar:

Posting Komentar